Y a p m a

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIK) MAKASSAR

Alamat Jl. Maccini Raya No. 197 Makassar(0411) 436068

Menerima Mahasiswa Baru T.A. 2016-2017
PROGRAM STUDI :
* KESEHATAN MASYARAKAT
* S1 KEPERAWATAN
* PROFESI NERS

FACEBOOK CENTER
Created by:Razak Facebook

Kamis, 23 April 2015

REVIEW KEBIJAKAN



By. Narfin / STIKMA
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN

1.1. Masalah Dasar
Kebijakan adalah aturan yang mejadi pedoman untuk melaksanakan suatu kegiatan. Kebijakan memiliki sifat distributif (pengalokasian), redistributif (pemindahan alokasi), dan regulatory (pembatasasan atau larangan). Sifat Kebijakan antara lain bertujuan, saling terikat, sesuatu yang dilakukan, bisa berbentuk positif atau negatif, dan mengikat.
Tambahin yg protektif dan kompetitif
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang ditandai oleh penduduknya berperilaku sehat dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia (Indonesia Sehat 2010). Derajat kesehatan masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator kesehatan masyarakat antara lain meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan anak balita, menurunnya angka kematian ibu melahirkan, dan menurunnya prevalesi gizi kurang pada anak balita.
Usia harapan hidup meningkat dari 45 (1967b) menjadi 66,2 tahun (2001); angka kematian bayi (AKB) menurun dari 128 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003), angka kematian balita (AKABA) menurun dari 216 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003), dan angka kematian ibu (AKI) melahirkan menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup (1986) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003).
Prevalensi gizi kurang (underweight) pada balita, telah menurun dari 37,5 persen tahun 1989 menjadi 25,8 persen tahun 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan anak balita yang pendek (stunting) sekitar 34,3 persen dan balita yang kurus (wasting) sebesar 16,6 persen. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil masih tinggi yaitu sekitar 45 persen (2003), dan prevalensi GAKY pada anak sekolah sebesar 11,1 persen (2003).
Walaupun telah menunjukan berbagai perbaikan, jika dibandingkan dengan negaranegara tetangga, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih tertinggal. Selain itu, terjadi disparitas yang cukup mencolok antar wilayah, kota-desa, dan tingkat sosial ekonomi. Indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). MDG merupakan suatu kesepakatan global, sebagai “benchmarks” untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang mempunyai pengaruh langsung pada derajat kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi prevalensi gizi kurang dan meningkatkan konsumsi kalori, (2) mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka kematian ibu, (4) menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (5) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih yang aman dan sanitasi dasar, dan (6) meningkatkan akses terhadap obat esensial (Bappenas, 2002).
Berbagai faktor atau determinan yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain adalah lingkungan (fisik, biologik, dan sosial), perilaku dan gaya hidup, faktor genetis, dan pelayanan kesehatan. Dalam system kesehatan itu sendiri, menurut Sistem Kesehatan Nasional (Depkes, 2004), paling tidak terdapat enam subsistem yang turut menentukan 11 kinerja sistem kesehatan nasional yaitu subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan.
Dalam subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan merupakan unsure utama yang mendukung subsistem kesehatan lainnya. Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Subsistem SDM kesehatan bertujuan pada tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes, 2004).
Dengan adanya kebijakan  saat ini menghadapi berbagai masalah mutu dan pengembangan belum mencapai jumlah yang diinginkan, distribusinya kurang merata, kompetensi tenaga yang kurang memadai dan pengembangan yang masih belum sesuai harapan. Keadaan ini perlu diperbaiki antara lain melalui perumusan kebijakan yang meliputi perencanaan kebutuhan tenaga, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga. Dalam implementasinya kebijakan tersebut dipengaruhi baik secara positif maupun negatif oleh lingkungan strategis antara lain pelaksanaan desentralisasi, kemampuan fiskal daerah dan keaadaan geografis suatu wialayh cakupan. Jika kebijakan dan implementasi berjalan dengan baik maka diharapkan berbagai permasalah kesehatan, teutama berkaitan dengan jumlah dan jenisnya yan mencukupi, distribusi semakin baik, dan kualitasnya meningkat serta pengembangan yang tertata. Dampak dari kebijakan yang diharapkan adalah
pelayanan kesehatan yang lebih baik, yang pada akhirnya akan memperbaiki status
kesehatan masyarakat.
Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health System Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di Indonesia adalah 15,5 dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah provinsi mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000 penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005) Kebijakan penempatan tenaga kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT)yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga perawat dan bidan.
Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya, menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Balimenyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik. Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik. Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan ujung tombak penyelenggara pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai: (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan tingkat dasar. Susenas 2004, menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkan penduduk untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%) dan praktek petugas kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak memanfaatkan 14 Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004). Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin, sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya, selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang optimal karena banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI, 2004) kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin. Dengan melihat berbagai permasalahan ketenagaan kesehatan tersebut, maka perlu
dikaji, bagamiana kebijakan perencanaan tenaga kesehatan dalam upaya untuk menjawab pemasalahan di atas. Khusunya, kajian diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal ketenagaan kesehatan di Puskesmas?
2. Bagaimana ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya?
3. Bagaimana mutu tenaga kesehatan yang tersedia?
4. Bagaimana distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas di wilayah tertinggal dan terpencil?
5. Bagaimana pembinaan karir tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas?
6. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas?
7. Bagaimana peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin?
8. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan tugas tenaga kesehatan di Puskesmas?

Kajian adalah cross sectional, yaitu dengan memotret keadaan ketenagaan kesehatan dari segi perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan dan pendayagunaan tenaga kesehatan dengan sampel kajian di beberapa provinsi, kabupaten, puskesmas, dan tenaga kesehatan.

1.2 Tujuan Yang Ingin Dicapai.
Tujuan yang ingin dicapai yakni mengumpulkan dan menganalisis berbagai variabel penting dari ketiga unsur pokok subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, antara lain: unit kerja penyusun rencana, jenis tenaga, periode penyusunan rencana, dasar penyusunan rencana, metoda penyusunan rencana, hambatan yang ditemui, koordinasi penyusunan rencana, sistem informasi untuk penyususan rencana.
Selain itu dikumpulkan pula kebutuhan dan ketersediaan tenaga, proses pengajuan kebutuhan, rekrutmen tenaga di daerah, masalah yang dihadapi dalam pengadaan tenaga,kriteria penentuan lokasi penempatan tenaga, kewenangan penempatan tenaga, pelatihan tenaga, jenis pelatihan yang dilaksanakan, sumber pembiayaan untuk pelatihan tenaga, dan sistem insentif yang digunakan serta minat untuk bertugas di daerah.

1.3 Substansi Kebijakan
Substansi kebijakan Kepegawaian, Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Kesehatan, dan Kepala Pusat Perencanaan Tenaga Kesehatan. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan diskusi dengan responden Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas, dan tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas. Data primer yang dikumpulkan meliputi data dan infomasi yang berkaitan dengan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan. Pengelolaan data dilakukan di Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas. Data yang masuk dari lapangan diverifikasi kelengkapan dan konsistensinya.
Selanjutnya data di entri kedalam komputer dengan menggunakan program SPSS. Analisis
univariate dilakukan terhadap setiap variabel yang dikumpulkan untuk mengetahui kecenderungan sebarannya dan untuk memperoleh statistik deskriptif. Analisis hubungan antar variabel digunakan analisis deskriptif yaitu dengan membandingkan kebijakan yang ada dengan kenyataan yang terjadi pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan.
Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34 milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. Pada tahun 2005 jumlah peserta didik seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik poltekes, dan 109.833 non Poltekes. Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah enghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain
2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik
3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan
4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak pembangunan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi dasar yaitu:
1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan
2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan
3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.
Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan antara lain:
1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan belum serasi
2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan
3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna
4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron
5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta
    6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.





1.4 Ciri Kebijakan
Ciri kebijakan antara lain :
a. Public policy is purposive, goal-oriented, behaviour rather than random or change behavior.
Tiap kebijakan mempunyai tujuan serta ada sasaran yang ingin dicapai. Artinya tiap kebijakan bukan saja dibuat karena kebetulan ada kesempatan membuat. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu adanya suatu kebijakan.
b. Policy consist of course of action rather-than separate, discrete decision or actions-performed by government official.
Maksudnya sebuah kebijakan tidak dapat berdiri sendiri atau terpisahkan dari kebijakan lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan masyarakat, berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi, dan penegak hukum.
c. Policy is what government do-not what they say they will do or what they intend to do.
Kebijakan adalah sesuatu yang dilakukan pemerintah bukan sesuatu yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah. Contohnya kebijakan distribusi makanan melibatkan apa yang sebenarnya dilakukan untuk menyediakan makanan kepada yang lapar.
d. Public policy may be either negative or positive.
Kebijakan dapat berbentuk negatif seperti larangan dan bisa juga berbentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.
e. Public policy based on law and is authoritative.
Kebijakan didasarkan atas hukum karena itu memiliki kewenangan untuk memikat dan memaksa agar masyarakat mengikutinya.
















BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI

2.1 Konsekuensi
Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan pengawasan tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:
1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan
2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata
3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik
5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap
6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.
Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untukPNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.
Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:
1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama
2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis
3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS
5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas
6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja paksa.
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela
2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu
3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan
4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),
domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian
5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti
6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum terpenuhi
7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah terpencil dan daerah pemekaran.
Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain. Dalah hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004 jumlah dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di daerah. Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan. Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:
1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil
2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk diangkat kembali sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.
Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkatsebagai PNS (peningkatan status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik.
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi, sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik Kedokteran.


2.2 Resistensi
Dalam kebijakan, resistensi masyarakat terjadi ketika pemenerintah menerbitkan Surat Edaran Dirjen Anggaran Nomor 32/A/2000 yang menyebutkan kenaikan tunjangan jabatan struktural mulai dari eselon I a dari Rp. 500.000,- menjadi Rp. 9.000.000,-, eselon I b dari Rp. 400.000,- menjadi Rp. 7.000.000, dan seterusnya. Aturan dan Kebijakan lain adalah ketika pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan aturan tentang pangkat puncak Pegawai Negeri Sipil yang berpendidikan SMA hanya sampai pada Penata Muda III/a. Kemudian pada tahun 2005 ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2005 yang dikuatkan dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 01/M.PAN/I/2006 yang menyebutkan bahwa pegawai honorer yang dapat mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil dan mendapat prioritas adalah honorer yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Kebijakan atau peraturan perundangan yang dibuat pemerintah tidak steril dari resistensi. Dalam kebijakan di bidang kepegawaian, resistensi terjadi ketika pemenerintah menerbitkan Surat Edaran Dirjen Anggaran Nomor 32/A/2000 yang menyebutkan kenaikan tunjangan jabatan struktural mulai dari eselon I a dari Rp. 500.000,- menjadi Rp. 9.000.000,-, eselon I b dari Rp. 400.000,- menjadi Rp. 7.000.000, dan seterusnya. Aturan dan Kebijakan lain adalah ketika pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan aturan tentang pangkat puncak Pegawai Negeri Sipil yang berpendidikan SMA hanya sampai pada Penata Muda III/a. Kemudian pada tahun 2005 ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2005 yang dikuatkan dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 01/M.PAN/I/2006 yang menyebutkan bahwa pegawai honorer yang dapat mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil dan mendapat prioritas adalah honorer yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Dari berbagai fenomena penolakan masyarakat terhadap aturan maupun kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang kepegawaian, permasalahan yang muncul adalah bagaimana sebenarnya aturan dan kebijakan yang baik, aturan dan kebijakan yang mampu merespons keinginan masyarakat. Leopold Pospisil dalam bukunya yang berjudul Anthropological of Law, menyebutkan bahwa aturan atau kebijakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Authorian law dan Common Law. Authorian Law adalah hukum yang dibuat oleh penguasa. Hukum ini mempunyai sifat statis dan nilai keadilannya besifat subyektif, tergantung dari frame penguasa melihat. Sebaliknya Common law dalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara empiris hukum ini dikenal dengan hukum adat. Hukum adat dibentuk berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai adil dan benar, baik dan buruk, adalah berdasarkan pada nilai-nilai individu anggota masyarakat yang terakumulasi dalam satu nilai masyarakat secara keseluruhan. Sehingga common law merupakan aturan yang bersifat dinamis dan mempunyai obyektifitas dalam melihat fenomena adil, benar, salah, baik, buruk, jahat dan lainnya.
Menurut Pospisil, aturan hukum yang baik adalah aturan atau kebijakan yang berasal dari nilai-nilai yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat (common law) untuk seterusnya diberi bentuk atau payung hukum entah dalam bentuk undang undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden oleh penguasa (Authorian law). Pendapat senada disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo (1994) yang menyatakan bahwa keberlakuan suatu aturan hukum atau kebijakan didasarkan pada tiga hal penting yaitu philosophisce geltung, jurisdische geltung dan sosiologische geltung. Philosophische geltung menyatakan bahwa aturan hukum akan berlaku apabila memenuhi syarat filosofis. Di negara kita dasar falsafah adalah Pancasila, sehingga semua produk hukum dan kebijakan harus didasarkan pada Pancasila. Jurisdische geltung menyatakan bahwa suatu aturan hukum atau kebijakan mempunyai kekuatan berlaku apabila memenuhi peryaratan yuridis yaitu dibuat oleh pejabat atau lembaga yang berwenang sesuai prosedur yang berlaku. Sosiologische geltung menyatakan bahwa suatu aturan hukum atau kebijakan mempunyai kekuatan berlaku apabila dapat diterima oleh masyarakat. Dua pendapat ini setidaknya memberikan sedikit arahan bagaimana suatu aturan atau kebijakan yang baik itu dibuat. Dalam hal pembuatan aturan dan kebijakan di bidang kepegawaian dalam upaya meminimalisasi resistensi masyarakat perlu memperhatikan aspirasi masyarakat khususnya masyarakat Pegawai Negeri Sipil.





















BAB III
P R E D I K S I

Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu maupun penyebarannya.

3.1 Prediksi Trade-Off
Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan Dibandingkan dengan negara-negara lain, rasio tenaga kesehatan terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat dan bidan terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih rendah terlihat dari tabel berikut.
Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

3.2 Prediksi Keberhasilan
Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri darin 2.010 Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak 1 1.566 orang, (Lihat tabel 4.3), dengan demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani oleh 18,75 tenaga kesehatan.
Dalam SKN 2004 dinyatakan sekurang-kurangnya Puskesmas melaksanakan enam jenis pelayanan kesehatan tingkat dasar, yaitu promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar. Jika dilihat dari tugas pelayanan kesehatan yang harus dilaksanakan maka tenaga kesehatan yang minimal dimiliki oleh setiap Puskesmas adalah dokter umum, bidan, perawat, ahli gizi, sanitarian, dan asisten apoteker. Dengan menggunakan salah satu metode perencanaan kebutuhan tenaga seperti tercantum dalam SK Menkes No.81/Menkes/SK/I/2004, yaitu metode Daftar Susunan
Pegawai (DSP), khususnya Model DSP Puskesmas Perdesaan, maka diperoleh gambaran bahwa untuk setiap puskesmas disarankan setidaknya terdapat 2 dokter umum, 1 dokter gigi 1, 6 perawat umum, dan 3 bidan di puskesmas. Jika dibandingkan data tahun 2004 dengan rasio tenaga dokter umum (1,18), dokter gigi (0,2), perawat umum (4,42), dan bidan (1,19), maka ketersediaan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas masih belum memadai. Untuk mencapai rasio ideal, maka jumlah dokter umum dan dokter gigi di Puskesmas perlu ditingkatkan 2 kali lipat. Sedangkan perawat umum dan bidan di Puskesmas perlu ditambahkan separuh dari jumlah yang telah ada. Data distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas per propinsi juga menunjukkan adanya kesenjangan (disparitas) antar wilayah.
Permasalahan akan terlihat bila melihat ketersediaan dokter umum di Puskesmas. Rasio dokter umum per Puskesmas penting untuk menjadi acuan, untuk melihat sejauh mana fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat dapat berfungsi dengan baik. Dengan kriteria ini dapat terlihat bahwa rasio dokter umum yang bertugas di Puskesmas terhadap jumlah Puskesmas berkisar antara 0,35 di Papua dan 2,30 di Kepulauan Riau, dengan rata-rata nasional sebesar 1,18 (Gambar 4.8). Secara umum dapat digambarkan bahwa daerah dengan rasio lebih rendah dari 1 menunjukkan jumlah dokter lebih kecil dari jumlah Puskemas, artinya banyak Puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter umum. Di Papua misalnya, rata-rata hanya satu dari 3 puskesmas yang memiliki dokter. Yang perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter per puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.
Kalaupun pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum memuaskan karena ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter umum di daerah seperti ini mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap derajat kesehatan secara nasional. Akan tetapi sebagai upya untuk memenuhi amanat undangundang dasar, pemenuhan hak dasar rakyat akan kesehatan, dan azas keadilan, upaya untuk daerah terpencil seperti ini perlu dilakukan dengan serius.
Tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga bidan. Secara keseluruhan jumlah bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri dari 3.147 bidan D3, 15.056 bidan di puskesmas, dan 30.049 bidan di desa. Rata-rata rasio bidan per puskesmas tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4. Jika dilihat per propinsi, maka propinsi yang rasionya paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,4) dan Papua (5,4), sedangkan paling rendah adalah DKI Jakarta (0,0) dan Gorontalo (0,6). Rasio tenaga bidan di desa per desa adalah 0,4. Data ini antara lain menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan untuk setiap desa secara nasional tidak atau belum terpenuhi.
Kepulauan Riau Sumatera Utara DI Yogyakarta Kalimantan Timur Bali Jawa Tengah Gorontalo Lampung Kalimantan Tengah Jawa Timur Bengkulu Jambi Maluku Utara Banten INDONESIA Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Kalimantan Selatan Sulawesi Barat R I a u Sumatera Selatan Bangka Belitung Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara NAD Kalimantan Barat Sumatera Barat Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Irian Jaya Barat DKI Jakarta Maluku Papua
30 hanya satu propinsi, yaitu DKI Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di desa tercatat di atas 1 (1,5), sedangkan propinsi lainnya berkisar antara 0,2 – 0,8. Tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang penting dalam pelaksanaan program di puskesmas antara lain adalah ahli gizi, sanitarian dan assisten apoteker. Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.565 orang (1.599 Gizi/D3 dan 2.966 Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas dengan ahli gizi adalah 0,6. Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak
4.468 orang, rasio sanitarian per puskesmas adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker
tercatat sebanyak 2.815 orang, dengan rasio 0,4 per puskesmas.

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain dinyatakan: 􀂃 Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan
yang dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);
􀂃 Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan (pasal 6 ayat 4).
Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan rencana kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana). Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:
1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global;
2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;
3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;
4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.
Selain 4 Metode dasar yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method, Health Service Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain yang merupakan pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai atau DSP); WISN (Work Load Indicator Staff Need) atau Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja; Skenario/Proyeksi dari WHO; dan penyusunan kebutuhan tenaga untuk bencana.
Perencanan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan menggunakan metode Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai – DSP). Metode ini bisa digunakan di berbagai unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain. Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-DSP (Authorized Staffing List)
Dalam Kepmenkes tersebut telah diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas dengan bermacam macam contoh model perhitungan:
a) Puskesmas di daerah terpencil, jumlah tenaga yang perlukan sekitar 17 orang.
b) Puskesmas di daerah perdesaan dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan 25 tenaga.
c) Puskesmas perkotaan dengan penduduk padat, diperlukan sekitar 40 tenaga.
d) Puskesmas Perawatan di daerah terpencil, diperlukan 27 tenaga.
e) Puskesmas perawatan di daerah kepulauan, diperlukan 38 tenaga.
f) Puskesmas perawatan di daerah strategis, diperlukan 41 tenaga.
Pada Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan, diatur pula tentang jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas tersebut.
Hasil survei di lokasi kajian menunjukkan bahwa pada dasarnya responden Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan di Puskesmas. Dalam periode satu tahun, Dinas Kesehatan melakukan paling sedikit satu kali kegiatan penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan dan sebagian besar pelaksananya adalah Unit Kerja Eselon III (47,1%). Secara umum perencanaan kebutuhan sudah cukup lengkap karena meliputi hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan di daerah. Jenis tenaga yang direncanakan oleh hampir semua Dinas Kesehatan adalah tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli gizi, sanitarian, apoteker, asisten apoteker, Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Selain tenaga-tenaga tersebut, ada pula Dinas Kesehatan yang merencanakan kebutuhan tenaga dokter spesialis, terapi fisik, dan terapi medis untuk ditempatkan di puskesmas perawatan. Dalam menyusun rencana kebutuhan tenaga, dari seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di lokasi penelitian, lebih dari separuhnya (52,6%) tidak menerapkan Pedoman Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan seperti tercantum dalam Surat Keputusan Menkes No.81 Tahun 2004 dan hanya 47,4% yang melaksanakan pedoman. Alasan utama tidak digunakannya pedoman tersebut berturut-turut adalah belum adanya sosialisasi, keterbatasan tenaga, menyerahkan ke Badan Kepegawaian daerah,
belum tahu dan belum membaca surat keputusan (SK).
Dengan demikian, sosialisasi tentang pedoman masih menjadi alasan utama tidak diterapkannya pedoman penyusunan rencana kebutuhan tenaga SDM kesehatan.  Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
BAB IV.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan
1. Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan perundang-undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta penempatan. Daerah juga telah melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh (52,6%) Kabupaten/Kota lokasi kajian tidak menerapkan Kepmenkes No.61/2004 mengenai pedoman perencanaan, dengan alasan utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan terbatasnya kapasitas perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang palingbanyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.
2. Dari 35 kab/kota lokasi kajian, terdapat kekurangan 66,1% tenaga kesehatan di puskesmas, pada semua jenis tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada Sarjana Kesehatan Masyarakat, Laboran dan Sanitarian. Masalah yang dihadapi terutama adalah keterbatasan formasi dan keterbatasan dana. Menghadapi kekurangan ini sebagian besar kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga ke Pemerintah Pusat. Kekurangan tenaga juga dirasakan oleh 58,2 % puskesmas di lokasi penelitian.
3. Terdapat kesenjangan antara jumlah (di 46% kab/kota) dan jenis (36% kab/kota) tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia. Formasi yang tersedia, sebagian besar (52,6% kab/kota) ditentukan bersama oleh Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan sepertiga (31,6% kab/kota) merupakan wenangan BKD
4. Kriteria utama penempatan dokter umum dan bidan adalah puskesmas yang tidak mempunyai dokter dan desa yang tidak mempunyai bidan. Permasalahan dapat timbul jika penempatan tidak sesuai dengan usulan, karena kurangnya koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan BKD. Proses pengadaan dan penempatan yang kurang memuaskan juga dirasakan separuh dari responden.
5. Sebagian besar responden tenaga kesehatan di puskesmas (70,6%) menyatakan kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya di puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adaptasi ataupun pelatihan di puskesmas.
6. Secara umum situasi ketenagaan di daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang dilayani lebih luas, proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit dan pegawai honor daerah dan PTT yang lebih tinggi, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap insentif finansial, fasilitas dan peningkatan karir yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi.
7. Sebagian besar responden (61,5%) menyatakan bahwa untuk menduduki jabatan Kepala Puskesmas latar belakang pendidikan yang diperlukan adalah dokter, dan sekitar 36,7% menyatakan Sarjana Kesehatan Masyarakat, sisanya sarjana lain. Pendapat ini sudah menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan beberapa waktu yang lalu bahwa Puskesmas harus dipimpin oleh seorang dokter. Saat ini di beberapa daerah, Puskesmas telah dipimpin oleh Sarjana Kesehatan Masyarakat.
8. Ketanggapan Puskesmas/Pustu yang diukur melalui tiga domain yaitu lama waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, kepuasan pelayanan kesehatan, danpenjelasan petugas kesehatan yang berkaitan dengan penyakit, masih rendah jika dibandingkan dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.. Ketanggapan Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, khususnya kegiatan rawat jalan memberikan gambaran yang kurang memuaskan bagi masyarakat yang dilayaninya.
9. Peranan Puskesmas dalam memelihara akses penduduk miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar melalui pelaksanaan program JPSBK/PKPS-BBM cukup efektif. Perubahan kebijakan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan efektivitasnya perlu dikaji lebih lanjut.
10. Terdapat tiga jenis insentif yang paling diharapkan oleh petugas Puskesmas diperoleh dari Pemerintah Daerah yaitu berupa pemberian gaji/tunjangan yang lebih baik, peningkatan karir, dan penyediaan fasilitas (antara lain perumahan, kendaraan, peralatan komunikasi). Insentif lainnya yang diharapkan dapat diperoleh adalah kemudahan mendapatkan izin praktek dan kedekatan dengan keluarga.

4.2 Rekomendasi
1. Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah pusat dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas perencana dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian tugas yang jelas, dan menyediakan pendanaan.
2. Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar tercapai keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga, misalnya dengan menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan terbatasnya dana.
3. Untuk peningkatan akses masyarakat kepada tenaga dan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, perlu dipetimbangkan kemungkinan untuk memperbanyak pustu dan polindes.
4. Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas.
5. Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.
6. Perlu dikembangkan sistem informasi tenaga kesehatan secara terpadu dan menyeluruh dalam rangka memanfaatkan data ketenagaan untuk perencanaan kebutuhan dan penyediaan tenaga kesehatan.
7. Dalam rangka menjamin mutu tenaga kesehatan perlu dikembangkan upaya peningkatan mutu institusi pendidikan dan peran serta organisasi profesi serta masyarakat lainnya, terutama dalam sertifikasi, registrasi dan lisensi tenaga kesehatan
8. Ketanggapan pelayanan Puskesmas terhadap masyarakat perlu ditingkatkan melalui pemberian informasi yang baik, pelibatan pasien untuk pengambilan keputusan, kebebasan memilih fasilitas kesehatan dan mempercepat waktu tunggu.



















DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. 2004. Sistem Kesehatan Nasional
2. Departemen Kesehatan RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010
3. Departemen Kesehatan RI. 2005. Analisis Situasi dan Kecenderungan Pembangunan Kesehatan 2000-2005 (Rancangan 12 Desember 2005)
4. Departemen Kesehatan RI. 2005. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005- 2009
5. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.81/ Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan Di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota Serta Rumah Sakit
6. Departemen Kesehatan RI. 2005. Profil Kesehatan Indonesia 2003.
7. Departemen Kesehatan RI. 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004- Subtansi Kesehatan. Jakarta: Badan Litbangkes, 2005



Tidak ada komentar: