By. Narfin / STIKMA
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
1.1. Masalah Dasar
Kebijakan adalah aturan yang mejadi pedoman untuk melaksanakan suatu
kegiatan. Kebijakan memiliki sifat distributif (pengalokasian), redistributif
(pemindahan alokasi), dan regulatory (pembatasasan atau larangan). Sifat
Kebijakan antara lain bertujuan, saling terikat, sesuatu yang dilakukan, bisa
berbentuk positif atau negatif, dan mengikat.
Tambahin yg
protektif dan kompetitif
Tujuan
pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal yang ditandai oleh penduduknya berperilaku sehat dan dalam lingkungan sehat,
memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah
Republik Indonesia (Indonesia Sehat 2010). Derajat kesehatan masyarakat
Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai indikator kesehatan masyarakat antara lain meningkatnya umur harapan
hidup, menurunnya angka kematian bayi dan anak balita, menurunnya angka
kematian ibu melahirkan, dan menurunnya prevalesi gizi kurang pada anak balita.
Usia
harapan hidup meningkat dari 45 (1967b) menjadi 66,2 tahun (2001); angka kematian
bayi (AKB) menurun dari 128 per 1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 35 per 1.000
kelahiran hidup (2002-2003), angka kematian balita (AKABA) menurun dari 216 per
1.000 kelahiran hidup (1960) menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (2002-2003),
dan angka kematian ibu (AKI) melahirkan menurun dari 450 per 100.000 kelahiran
hidup (1986) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003).
Prevalensi
gizi kurang (underweight) pada balita, telah menurun dari 37,5 persen tahun
1989 menjadi 25,8 persen tahun 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 menunjukkan anak balita yang pendek (stunting) sekitar 34,3 persen dan
balita yang kurus (wasting) sebesar 16,6 persen. Prevalensi anemia gizi besi
pada ibu hamil masih tinggi yaitu sekitar 45 persen (2003), dan prevalensi GAKY
pada anak sekolah sebesar 11,1 persen (2003).
Walaupun
telah menunjukan berbagai perbaikan, jika dibandingkan dengan negaranegara tetangga,
status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih tertinggal. Selain itu,
terjadi disparitas yang cukup mencolok antar wilayah, kota-desa, dan tingkat
sosial ekonomi. Indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini
masih jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development
Goals (MDGs). MDG merupakan suatu kesepakatan global, sebagai “benchmarks”
untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa
target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang mempunyai pengaruh
langsung pada derajat kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi
prevalensi gizi kurang dan meningkatkan konsumsi kalori, (2) mengurangi dua per
tiga angka kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per
empat angka kematian ibu, (4) menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS,
malaria dan penyakit menular lainnya, (5) mengurangi separuh proporsi penduduk
yang tidak memiliki akses terhadap air bersih yang aman dan sanitasi dasar, dan
(6) meningkatkan akses terhadap obat esensial (Bappenas, 2002).
Berbagai
faktor atau determinan yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain adalah
lingkungan (fisik, biologik, dan sosial), perilaku dan gaya hidup, faktor
genetis, dan pelayanan kesehatan. Dalam system kesehatan itu sendiri, menurut
Sistem Kesehatan Nasional (Depkes, 2004), paling tidak terdapat enam subsistem
yang turut menentukan 11 kinerja sistem kesehatan nasional yaitu subsistem
upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan,
obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen
kesehatan.
Dalam
subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan merupakan unsure utama yang mendukung
subsistem kesehatan lainnya. Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah semua
orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Subsistem
SDM kesehatan bertujuan pada tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara mencukupi,
terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil-guna dan
berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes,
2004).
Dengan
adanya kebijakan saat ini menghadapi
berbagai masalah mutu dan pengembangan belum mencapai jumlah yang diinginkan,
distribusinya kurang merata, kompetensi tenaga yang kurang memadai dan
pengembangan yang masih belum sesuai harapan. Keadaan ini perlu diperbaiki
antara lain melalui perumusan kebijakan yang meliputi perencanaan kebutuhan
tenaga, pendidikan dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga. Dalam implementasinya
kebijakan tersebut dipengaruhi baik secara positif maupun negatif oleh
lingkungan strategis antara lain pelaksanaan desentralisasi, kemampuan fiskal
daerah dan keaadaan geografis suatu wialayh cakupan. Jika kebijakan dan
implementasi berjalan dengan baik maka diharapkan berbagai permasalah
kesehatan, teutama berkaitan dengan jumlah dan jenisnya yan mencukupi,
distribusi semakin baik, dan kualitasnya meningkat serta pengembangan yang
tertata. Dampak dari kebijakan yang diharapkan adalah
pelayanan kesehatan yang lebih baik,
yang pada akhirnya akan memperbaiki status
kesehatan masyarakat.
Jumlah
tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health System
Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk
di Indonesia adalah 15,5 dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau
Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah provinsi mempunyai rasio dokter dibawah
rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di DKI
(70,8). Rata-rata bidan per 100.000 penduduk di Indonesia sebesar 32,3,
terendah di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk
adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian besar tenaga dokter (69%) bekerja
disektor pemerintah. (Depkes, 2005) Kebijakan penempatan tenaga kesehatan
dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT)yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum
mampu menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara
merata terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas
tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga perawat dan
bidan.
Kompetensi
tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan apalagi jika
dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya, menemukan
sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan
Balimenyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang
diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan sanksi,
peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi
dan lisensi belum berjalan dengan baik. Pengembangan organisasi profesi di
bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme
tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik. Dalam sistem pelayanan kesehatan
di Indonesia, puskesmas merupakan ujung tombak penyelenggara pelayanan
kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di
wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai: (1) pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan masyarakat
di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan tingkat dasar. Susenas 2004,
menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkan penduduk untuk
berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%) dan
praktek petugas kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak memanfaatkan
14 Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS,
2004). Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin,
sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di
daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai
implikasinya, selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan,
pelayanan yang diperoleh juga krang optimal karena banyaknya Puskesmas yang
kekurangan tenaga kesehatan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI, 2004) kebijakan pembangunan kesehatan
diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan
akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak
terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan
pelayanan di Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1) peningkatan
jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga
medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin. Dengan
melihat berbagai permasalahan ketenagaan kesehatan tersebut, maka perlu
dikaji, bagamiana kebijakan
perencanaan tenaga kesehatan dalam upaya untuk menjawab pemasalahan di atas.
Khusunya, kajian diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana kebijakan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam hal ketenagaan kesehatan di Puskesmas?
2. Bagaimana ketersediaan tenaga
kesehatan di Puskesmas dan jaringannya?
3. Bagaimana mutu tenaga kesehatan
yang tersedia?
4. Bagaimana distribusi tenaga
kesehatan di Puskesmas di wilayah tertinggal dan terpencil?
5. Bagaimana pembinaan karir tenaga
kesehatan yang bekerja di Puskesmas?
6. Bagaimana tanggapan masyarakat
terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas?
7. Bagaimana peran Puskesmas dalam
pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin?
8. Faktor-faktor apa yang menjadi
penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan tugas tenaga kesehatan di Puskesmas?
Kajian adalah
cross sectional, yaitu dengan memotret keadaan ketenagaan kesehatan dari
segi perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan dan pendayagunaan tenaga
kesehatan dengan sampel kajian di beberapa provinsi, kabupaten, puskesmas, dan tenaga
kesehatan.
1.2 Tujuan Yang Ingin Dicapai.
Tujuan
yang ingin dicapai yakni mengumpulkan dan menganalisis berbagai variabel
penting dari ketiga unsur pokok subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan
kebutuhan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, antara
lain: unit kerja penyusun rencana, jenis tenaga, periode penyusunan rencana,
dasar penyusunan rencana, metoda penyusunan rencana, hambatan yang ditemui,
koordinasi penyusunan rencana, sistem informasi untuk penyususan rencana.
Selain itu dikumpulkan pula kebutuhan
dan ketersediaan tenaga, proses pengajuan kebutuhan, rekrutmen tenaga di
daerah, masalah yang dihadapi dalam pengadaan tenaga,kriteria penentuan lokasi
penempatan tenaga, kewenangan penempatan tenaga, pelatihan tenaga, jenis
pelatihan yang dilaksanakan, sumber pembiayaan untuk pelatihan tenaga, dan sistem
insentif yang digunakan serta minat untuk bertugas di daerah.
1.3 Substansi Kebijakan
Substansi
kebijakan Kepegawaian, Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Kesehatan, dan
Kepala Pusat Perencanaan Tenaga Kesehatan. Data primer dikumpulkan dengan
menggunakan kuesioner dan diskusi dengan responden Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas, dan tenaga kesehatan yang bertugas di
puskesmas. Data primer yang dikumpulkan meliputi data dan infomasi yang
berkaitan dengan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan. Pengelolaan data
dilakukan di Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas. Data yang
masuk dari lapangan diverifikasi kelengkapan dan konsistensinya.
Selanjutnya
data di entri kedalam komputer dengan menggunakan program SPSS. Analisis
univariate dilakukan terhadap setiap
variabel yang dikumpulkan untuk mengetahui kecenderungan sebarannya dan untuk
memperoleh statistik deskriptif. Analisis hubungan antar variabel digunakan
analisis deskriptif yaitu dengan membandingkan kebijakan yang ada dengan
kenyataan yang terjadi pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan.
Menurut
kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah,
34 milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. Pada tahun 2005 jumlah
peserta didik seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta
didik poltekes, dan 109.833 non Poltekes. Tujuan yang ingin dicapai oleh
institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah enghasilkan tenaga kesehatan yang
profesional dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain
2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan
secara akademik
3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana,
dan
4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan
penggerak pembangunan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi
dasar yaitu:
1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan
2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan
3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi
pendidikan tenaga kesehatan.
Dalam hal peningkatan mutu lulusan
tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa
tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang
kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi tenaga kesehatan. Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga
kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga
kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau
masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan
berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin penyelenggaraan
pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan dan
Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan akademik
dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa isu yang perlu
mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan antara lain:
1. Perencanan kebutuhan tenaga
kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan belum serasi
2. Kemampuan produksi belum sejalan
dengan daya serap tenaga lulusan
3. Produksi lulusan belum sesuai dengan
mutu yang diinginkan oleh pengguna
4. Kebijakan dan pengelolaan antara
Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron
5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah belum sepadan dengan penyelenggaraan
oleh swasta
6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum
selaras.
1.4 Ciri Kebijakan
Ciri
kebijakan antara lain :
a. Public
policy is purposive, goal-oriented, behaviour rather than random or change
behavior.
Tiap kebijakan mempunyai tujuan
serta ada sasaran yang ingin dicapai. Artinya tiap kebijakan bukan saja dibuat
karena kebetulan ada kesempatan membuat. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu
adanya suatu kebijakan.
b. Policy
consist of course of action rather-than separate, discrete decision or
actions-performed by government official.
Maksudnya sebuah kebijakan tidak
dapat berdiri sendiri atau terpisahkan dari kebijakan lain, tetapi berkaitan
dengan berbagai kebijakan masyarakat, berorientasi pada pelaksanaan,
interpretasi, dan penegak hukum.
c. Policy
is what government do-not what they say they will do or what they intend to do.
Kebijakan adalah sesuatu yang
dilakukan pemerintah bukan sesuatu yang ingin atau diniatkan akan dilakukan
pemerintah. Contohnya kebijakan distribusi makanan melibatkan apa yang
sebenarnya dilakukan untuk menyediakan makanan kepada yang lapar.
d. Public
policy may be either negative or positive.
Kebijakan dapat berbentuk negatif
seperti larangan dan bisa juga berbentuk positif seperti pengarahan untuk
melaksanakan atau menganjurkan.
e. Public
policy based on law and is authoritative.
Kebijakan didasarkan atas hukum
karena itu memiliki kewenangan untuk memikat dan memaksa agar masyarakat
mengikutinya.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
2.1 Konsekuensi
Pendayagunaan
tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan pengawasan tenaga kesehatan.
Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:
1. Kurang serasinya antara kemampuan
produksi dengan pendayagunaan
2. Penyebaran tenaga kesehatan yang
kurang merata
3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang
sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
4. Pengembangan karir kurang berjalan
dengan baik
5. Standar profesi tenaga kesehatan
belum terumuskan dengan lengkap
6. Sistem penghargaan dan sanksi
tidak berjalan dengan semestinya.
Dalam hal pendayagunaan dan
penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode perkenmbangan
kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan
kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan
III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untukPNS
Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini
berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan
menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga
dokter.
Periode 1992-2002 ditetapkan
kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir tidak ada
pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis
dilakukan melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes
No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3
tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter
gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa
permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:
1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi
favorit terlalu lama
2. Usia menjadi penghambat untuk
melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis
3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4. Besarnya gaji tidak signifikan
jika dibandingkan dengan dokter PNS
5. Adanya persyaratan jabatan sebagai
Kepala Puskesmas
6. Ada anggapan melanggar hak azasi
masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja paksa.
Pada perode mulai tahun 2005
pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Bukan merupakan suatu kewajiban,
tetapi bersifat sukarela
2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan
antrian/daftar tunggu
3. Semua provinsi terbuka untuk
pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan
4. Rekrutmen, seleksi administratif
berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),
domisili, tahun kelulusan dan lamanya
menunggu dalam antrian
5. Diprioritaskan bagi dokter dan
dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti
6. Dokter pasca PTT dapat diangkat
kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum terpenuhi
7. Pengurangan lama masa bakti bagi
daerah yang kurang diminati seperti daerah terpencil dan daerah pemekaran.
Kebijakan
ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup
menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya
Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di
kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat karena adanya alternatif
pilihan di provinsi lain. Dalah hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan
Desember 2004 jumlah dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia
sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah
dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461 orang,
terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan penempatan
tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.
Sejak
diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu
ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir
tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis
yang langsung diterima pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa
bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD
cukup menarik minat untuk bertugas di daerah. Tenaga kesehatan lainnya yang
cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan berperan dalam
penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan. Seperti halnya
dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik
kebijakan sebagai berikut:
1. Penugasan selama 3 tahun di daerah
biasa dan 2 tahun di daerah terpencil
2. Penugasan dapat diperpanjang dua
kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk diangkat kembali sebagai bidan
PTT sesuai kebutuhan.
Sampai
dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470
orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkatsebagai
PNS (peningkatan status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran
gaji antara daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga
tidak menarik.
Pembinaan
dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana dengan baik.
Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui
sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi
dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan oleh komite
registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi
profesi, sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini
memerlukan dukungan peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru
profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik Kedokteran.
2.2 Resistensi
Dalam
kebijakan, resistensi masyarakat terjadi ketika pemenerintah menerbitkan Surat
Edaran Dirjen Anggaran Nomor 32/A/2000 yang menyebutkan kenaikan tunjangan
jabatan struktural mulai dari eselon I a dari Rp. 500.000,- menjadi Rp. 9.000.000,-,
eselon I b dari Rp. 400.000,- menjadi Rp. 7.000.000, dan seterusnya. Aturan dan
Kebijakan lain adalah ketika pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan aturan
tentang pangkat puncak Pegawai Negeri Sipil yang berpendidikan SMA hanya sampai
pada Penata Muda III/a. Kemudian pada tahun 2005 ketika pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2005 yang dikuatkan dengan Surat Edaran
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 01/M.PAN/I/2006 yang menyebutkan
bahwa pegawai honorer yang dapat mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil dan
mendapat prioritas adalah honorer yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Kebijakan
atau peraturan perundangan yang dibuat pemerintah tidak steril dari resistensi.
Dalam kebijakan di bidang kepegawaian, resistensi terjadi ketika pemenerintah
menerbitkan Surat Edaran Dirjen Anggaran Nomor 32/A/2000 yang menyebutkan
kenaikan tunjangan jabatan struktural mulai dari eselon I a dari Rp. 500.000,-
menjadi Rp. 9.000.000,-, eselon I b dari Rp. 400.000,- menjadi Rp. 7.000.000,
dan seterusnya. Aturan dan Kebijakan lain adalah ketika pada tahun 1994
pemerintah menerbitkan aturan tentang pangkat puncak Pegawai Negeri Sipil yang
berpendidikan SMA hanya sampai pada Penata Muda III/a. Kemudian pada tahun 2005
ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2005 yang
dikuatkan dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor
01/M.PAN/I/2006 yang menyebutkan bahwa pegawai honorer yang dapat mendaftar Calon
Pegawai Negeri Sipil dan mendapat prioritas adalah honorer yang dibiayai oleh
Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Dari
berbagai fenomena penolakan masyarakat terhadap aturan maupun kebijakan
pemerintah khususnya dalam bidang kepegawaian, permasalahan yang muncul adalah
bagaimana sebenarnya aturan dan kebijakan yang baik, aturan dan kebijakan yang
mampu merespons keinginan masyarakat. Leopold Pospisil dalam bukunya yang
berjudul Anthropological of Law, menyebutkan bahwa aturan atau kebijakan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu Authorian law dan Common Law. Authorian Law adalah
hukum yang dibuat oleh penguasa. Hukum ini mempunyai sifat statis dan nilai
keadilannya besifat subyektif, tergantung dari frame penguasa melihat.
Sebaliknya Common law dalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara empiris
hukum ini dikenal dengan hukum adat. Hukum adat dibentuk berdasarkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai adil dan benar, baik dan buruk,
adalah berdasarkan pada nilai-nilai individu anggota masyarakat yang
terakumulasi dalam satu nilai masyarakat secara keseluruhan. Sehingga common
law merupakan aturan yang bersifat dinamis dan mempunyai obyektifitas dalam
melihat fenomena adil, benar, salah, baik, buruk, jahat dan lainnya.
Menurut
Pospisil, aturan hukum yang baik adalah aturan atau kebijakan yang berasal dari
nilai-nilai yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat (common law) untuk
seterusnya diberi bentuk atau payung hukum entah dalam bentuk undang undang, peraturan
pemerintah, keputusan presiden oleh penguasa (Authorian law). Pendapat senada
disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo (1994) yang menyatakan bahwa keberlakuan
suatu aturan hukum atau kebijakan didasarkan pada tiga hal penting yaitu
philosophisce geltung, jurisdische geltung dan sosiologische geltung.
Philosophische geltung menyatakan bahwa aturan hukum akan berlaku apabila
memenuhi syarat filosofis. Di negara kita dasar falsafah adalah Pancasila,
sehingga semua produk hukum dan kebijakan harus didasarkan pada Pancasila.
Jurisdische geltung menyatakan bahwa suatu aturan hukum atau kebijakan
mempunyai kekuatan berlaku apabila memenuhi peryaratan yuridis yaitu dibuat
oleh pejabat atau lembaga yang berwenang sesuai prosedur yang berlaku.
Sosiologische geltung menyatakan bahwa suatu aturan hukum atau kebijakan
mempunyai kekuatan berlaku apabila dapat diterima oleh masyarakat. Dua pendapat
ini setidaknya memberikan sedikit arahan bagaimana suatu aturan atau kebijakan
yang baik itu dibuat. Dalam hal pembuatan aturan dan kebijakan di bidang
kepegawaian dalam upaya meminimalisasi resistensi masyarakat perlu
memperhatikan aspirasi masyarakat khususnya masyarakat Pegawai Negeri Sipil.
BAB III
P R E D I K S I
Secara
umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat diidentifikasikan
belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu maupun
penyebarannya.
3.1 Prediksi Trade-Off
Sampai
dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja di
Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan
kepada sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat
memberikan pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap
penduduk yang relatif masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah
tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan
harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio
jenis tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan
kondisi yang ingin dicapai pada tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga
kesehatan Dibandingkan dengan negara-negara lain, rasio tenaga kesehatan
terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat dan bidan terhadap jumlah penduduk
di Indonesia masih rendah terlihat dari tabel berikut.
Kualitas
tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat
dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak
puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga
kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan
belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap
kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau
lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan
pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.
3.2 Prediksi Keberhasilan
Jumlah
Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri darin 2.010
Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah seluruh
tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak 1 1.566
orang, (Lihat tabel 4.3), dengan demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani
oleh 18,75 tenaga kesehatan.
Dalam SKN
2004 dinyatakan sekurang-kurangnya Puskesmas melaksanakan enam jenis pelayanan
kesehatan tingkat dasar, yaitu promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak serta
keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan
penyakit menular, dan pengobatan dasar. Jika dilihat dari tugas pelayanan
kesehatan yang harus dilaksanakan maka tenaga kesehatan yang minimal dimiliki
oleh setiap Puskesmas adalah dokter umum, bidan, perawat, ahli gizi,
sanitarian, dan asisten apoteker. Dengan menggunakan salah satu metode
perencanaan kebutuhan tenaga seperti tercantum dalam SK Menkes
No.81/Menkes/SK/I/2004, yaitu metode Daftar Susunan
Pegawai (DSP), khususnya Model DSP
Puskesmas Perdesaan, maka diperoleh gambaran bahwa untuk setiap puskesmas
disarankan setidaknya terdapat 2 dokter umum, 1 dokter gigi 1, 6 perawat umum,
dan 3 bidan di puskesmas. Jika dibandingkan data tahun 2004 dengan rasio tenaga
dokter umum (1,18), dokter gigi (0,2), perawat umum (4,42), dan bidan (1,19),
maka ketersediaan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas masih belum memadai.
Untuk mencapai rasio ideal, maka jumlah dokter umum dan dokter gigi di Puskesmas
perlu ditingkatkan 2 kali lipat. Sedangkan perawat umum dan bidan di Puskesmas
perlu ditambahkan separuh dari jumlah yang telah ada. Data distribusi tenaga
kesehatan di Puskesmas per propinsi juga menunjukkan adanya kesenjangan
(disparitas) antar wilayah.
Permasalahan
akan terlihat bila melihat ketersediaan dokter umum di Puskesmas. Rasio dokter
umum per Puskesmas penting untuk menjadi acuan, untuk melihat sejauh mana
fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat
dapat berfungsi dengan baik. Dengan kriteria ini dapat terlihat bahwa rasio
dokter umum yang bertugas di Puskesmas terhadap jumlah Puskesmas berkisar
antara 0,35 di Papua dan 2,30 di Kepulauan Riau, dengan rata-rata nasional
sebesar 1,18 (Gambar 4.8). Secara umum dapat digambarkan bahwa daerah dengan
rasio lebih rendah dari 1 menunjukkan jumlah dokter lebih kecil dari jumlah
Puskemas, artinya banyak Puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter umum. Di
Papua misalnya, rata-rata hanya satu dari 3 puskesmas yang memiliki dokter. Yang
perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter per puskesmas
yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat
mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.
Kalaupun
pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum memuaskan karena
ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter umum di daerah seperti
ini mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap
derajat kesehatan secara nasional. Akan tetapi sebagai upya untuk memenuhi
amanat undangundang dasar, pemenuhan hak dasar rakyat akan kesehatan, dan azas
keadilan, upaya untuk daerah terpencil seperti ini perlu dilakukan dengan
serius.
Tenaga
kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak,
terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga bidan. Secara keseluruhan
jumlah bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri dari 3.147 bidan D3, 15.056
bidan di puskesmas, dan 30.049 bidan di desa. Rata-rata rasio bidan per
puskesmas tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4. Jika dilihat per propinsi,
maka propinsi yang rasionya paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,4) dan Papua
(5,4), sedangkan paling rendah adalah DKI Jakarta (0,0) dan Gorontalo (0,6).
Rasio tenaga bidan di desa per desa adalah 0,4. Data ini antara lain
menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan untuk setiap desa secara
nasional tidak atau belum terpenuhi.
Kepulauan
Riau Sumatera Utara DI Yogyakarta Kalimantan Timur Bali Jawa Tengah Gorontalo
Lampung Kalimantan Tengah Jawa Timur Bengkulu Jambi Maluku Utara Banten
INDONESIA Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Kalimantan
Selatan Sulawesi Barat R I a u Sumatera Selatan Bangka Belitung Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara NAD Kalimantan Barat Sumatera Barat Jawa Barat Nusa Tenggara
Timur Irian Jaya Barat DKI Jakarta Maluku Papua
30 hanya satu propinsi, yaitu DKI
Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di desa tercatat di atas 1 (1,5), sedangkan
propinsi lainnya berkisar antara 0,2 – 0,8. Tenaga kesehatan lainnya yang
mempunyai tugas dan tanggungjawab yang penting dalam pelaksanaan program di
puskesmas antara lain adalah ahli gizi, sanitarian dan assisten apoteker.
Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.565
orang (1.599 Gizi/D3 dan 2.966 Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas dengan
ahli gizi adalah 0,6. Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak
4.468 orang, rasio sanitarian per
puskesmas adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker
tercatat sebanyak 2.815 orang, dengan
rasio 0,4 per puskesmas.
Kebijakan
perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP tersebut
antara lain dinyatakan: Perencanaan nasional tenaga
kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan
yang dibutuhkan, sarana kesehatan,
jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);
Perencanaan nasional tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan (pasal 6 ayat 4).
Kebijakan Pemerintah tentang
perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004
tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat
Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Tujuan pedoman ini adalah untuk
membantu daerah dalam mewujudkan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan
dengan prosedur penyusunan rencana kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat
institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah
(misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada
saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana). Adapun prinsip dasar
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:
1. Disesuaikan dengan kebutuhan
pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global;
2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan
diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh Pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha;
3. Penyusunan Perencanaan didasarkan
pada sasaran upaya kesehatan nasional dan Rencana Pembangunan Kesehatan menuju
Indonesia Sehat 2010;
4. Pemilihan metode perhitungan
kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode dengan kemampuan dan
keadaan daerah masing-masing.
Selain 4 Metode dasar yang telah
diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method, Health Service
Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain yang
merupakan pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing
List (Daftar Susunan Pegawai atau DSP); WISN (Work Load Indicator Staff
Need) atau Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja;
Skenario/Proyeksi dari WHO; dan penyusunan kebutuhan tenaga untuk bencana.
Perencanan
kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan menggunakan
metode Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai – DSP). Metode ini
bisa digunakan di berbagai unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan
lain-lain. Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-DSP (Authorized
Staffing List)
Dalam Kepmenkes tersebut telah
diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas dengan bermacam macam contoh model
perhitungan:
a) Puskesmas di daerah terpencil,
jumlah tenaga yang perlukan sekitar 17 orang.
b) Puskesmas di daerah perdesaan
dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan 25 tenaga.
c) Puskesmas perkotaan dengan
penduduk padat, diperlukan sekitar 40 tenaga.
d) Puskesmas Perawatan di daerah
terpencil, diperlukan 27 tenaga.
e) Puskesmas perawatan di daerah
kepulauan, diperlukan 38 tenaga.
f) Puskesmas perawatan di daerah
strategis, diperlukan 41 tenaga.
Pada
Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan, diatur
pula tentang jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas tersebut.
Hasil survei
di lokasi kajian menunjukkan bahwa pada dasarnya responden Dinas Kesehatan
Propinsi dan Kabupaten/Kota melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kebutuhan
tenaga kesehatan di Puskesmas. Dalam periode satu tahun, Dinas Kesehatan melakukan
paling sedikit satu kali kegiatan penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan
dan sebagian besar pelaksananya adalah Unit Kerja Eselon III (47,1%). Secara
umum perencanaan kebutuhan sudah cukup lengkap karena meliputi hampir semua
jenis tenaga kesehatan yang diperlukan di daerah. Jenis tenaga yang
direncanakan oleh hampir semua Dinas Kesehatan adalah tenaga dokter, dokter
gigi, perawat, bidan, ahli gizi, sanitarian, apoteker, asisten apoteker,
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Selain tenaga-tenaga tersebut, ada pula Dinas
Kesehatan yang merencanakan kebutuhan tenaga dokter spesialis, terapi fisik,
dan terapi medis untuk ditempatkan di puskesmas perawatan. Dalam menyusun
rencana kebutuhan tenaga, dari seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di lokasi
penelitian, lebih dari separuhnya (52,6%) tidak menerapkan Pedoman Penyusunan
Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan seperti tercantum dalam Surat Keputusan
Menkes No.81 Tahun 2004 dan hanya 47,4% yang melaksanakan pedoman. Alasan utama
tidak digunakannya pedoman tersebut berturut-turut adalah belum adanya
sosialisasi, keterbatasan tenaga, menyerahkan ke Badan Kepegawaian daerah,
belum tahu dan belum membaca surat
keputusan (SK).
Dengan
demikian, sosialisasi tentang pedoman masih menjadi alasan utama tidak diterapkannya
pedoman penyusunan rencana kebutuhan tenaga SDM kesehatan. Secara umum kebijakan tentang tenaga
kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas atau mutu, antara lain
dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan.
BAB IV.
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
1. Kebijakan nasional tentang tenaga
kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan perundang-undangan, meliputi
aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta penempatan. Daerah juga telah
melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh
(52,6%) Kabupaten/Kota lokasi kajian tidak menerapkan Kepmenkes No.61/2004
mengenai pedoman perencanaan, dengan alasan utama kurangnya sosialisasi,
terbatasnya data dan informasi, dan terbatasnya kapasitas perencana. Pada
kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang palingbanyak digunakan
adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.
2. Dari 35 kab/kota lokasi kajian,
terdapat kekurangan 66,1% tenaga kesehatan di puskesmas, pada semua jenis
tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada Sarjana Kesehatan
Masyarakat, Laboran dan Sanitarian. Masalah yang dihadapi terutama adalah
keterbatasan formasi dan keterbatasan dana. Menghadapi kekurangan ini sebagian
besar kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga ke Pemerintah Pusat. Kekurangan
tenaga juga dirasakan oleh 58,2 % puskesmas di lokasi penelitian.
3. Terdapat kesenjangan antara jumlah
(di 46% kab/kota) dan jenis (36% kab/kota) tenaga yang diusulkan dengan formasi
yang tersedia. Formasi yang tersedia, sebagian besar (52,6% kab/kota)
ditentukan bersama oleh Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan
sepertiga (31,6% kab/kota) merupakan wenangan BKD
4. Kriteria utama penempatan dokter
umum dan bidan adalah puskesmas yang tidak mempunyai dokter dan desa yang tidak
mempunyai bidan. Permasalahan dapat timbul jika penempatan tidak sesuai dengan
usulan, karena kurangnya koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan BKD. Proses
pengadaan dan penempatan yang kurang memuaskan juga dirasakan separuh dari
responden.
5. Sebagian besar responden tenaga
kesehatan di puskesmas (70,6%) menyatakan kesesuaian antara latar belakang
pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan
pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas
dan fungsinya di puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adaptasi ataupun
pelatihan di puskesmas.
6. Secara umum situasi ketenagaan di
daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per
puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang dilayani lebih luas,
proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit dan pegawai honor daerah dan PTT yang
lebih tinggi, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap
insentif finansial, fasilitas dan peningkatan karir yang sangat tinggi, serta rencana
kepindahan yang lebih tinggi.
7. Sebagian besar responden (61,5%)
menyatakan bahwa untuk menduduki jabatan Kepala Puskesmas latar belakang
pendidikan yang diperlukan adalah dokter, dan sekitar 36,7% menyatakan Sarjana
Kesehatan Masyarakat, sisanya sarjana lain. Pendapat ini sudah menunjukkan
kecenderungan yang berbeda dengan beberapa waktu yang lalu bahwa Puskesmas
harus dipimpin oleh seorang dokter. Saat ini di beberapa daerah, Puskesmas
telah dipimpin oleh Sarjana Kesehatan Masyarakat.
8. Ketanggapan Puskesmas/Pustu yang
diukur melalui tiga domain yaitu lama waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, kepuasan pelayanan kesehatan, danpenjelasan petugas kesehatan yang
berkaitan dengan penyakit, masih rendah jika dibandingkan dengan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.. Ketanggapan Puskesmas sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan, khususnya kegiatan rawat jalan memberikan gambaran yang
kurang memuaskan bagi masyarakat yang dilayaninya.
9. Peranan Puskesmas dalam memelihara
akses penduduk miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar melalui
pelaksanaan program JPSBK/PKPS-BBM cukup efektif. Perubahan kebijakan dalam
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan efektivitasnya perlu dikaji
lebih lanjut.
10. Terdapat tiga jenis insentif yang
paling diharapkan oleh petugas Puskesmas diperoleh dari Pemerintah Daerah yaitu
berupa pemberian gaji/tunjangan yang lebih baik, peningkatan karir, dan
penyediaan fasilitas (antara lain perumahan, kendaraan, peralatan komunikasi).
Insentif lainnya yang diharapkan dapat diperoleh adalah kemudahan mendapatkan
izin praktek dan kedekatan dengan keluarga.
4.2 Rekomendasi
1. Untuk mengatasi berbagai kendala
dalam perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah pusat dan propinsi dapat
membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas perencana
dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian
tugas yang jelas, dan menyediakan pendanaan.
2. Perlu dimantapkan keterkaitan
perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar tercapai keserasian antara
kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga, misalnya dengan menajwab
dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan
terbatasnya dana.
3. Untuk peningkatan akses masyarakat
kepada tenaga dan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, perlu dipetimbangkan
kemungkinan untuk memperbanyak pustu dan polindes.
4. Hingga saat ini masih banyak
puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga kriteria penempatan yang
digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan tenaga dokter di
Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan dokter
Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas.
5. Untuk meningkatkan atau
mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan
masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang
tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.
6. Perlu dikembangkan sistem
informasi tenaga kesehatan secara terpadu dan menyeluruh dalam rangka
memanfaatkan data ketenagaan untuk perencanaan kebutuhan dan penyediaan tenaga
kesehatan.
7. Dalam rangka menjamin mutu tenaga
kesehatan perlu dikembangkan upaya peningkatan mutu institusi pendidikan dan
peran serta organisasi profesi serta masyarakat lainnya, terutama dalam
sertifikasi, registrasi dan lisensi tenaga kesehatan
8. Ketanggapan pelayanan Puskesmas
terhadap masyarakat perlu ditingkatkan melalui pemberian informasi yang baik,
pelibatan pasien untuk pengambilan keputusan, kebebasan memilih fasilitas
kesehatan dan mempercepat waktu tunggu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2004.
Sistem Kesehatan Nasional
2. Departemen Kesehatan RI. 1999. Rencana
Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010
3. Departemen Kesehatan RI. 2005.
Analisis Situasi dan Kecenderungan Pembangunan Kesehatan 2000-2005 (Rancangan
12 Desember 2005)
4. Departemen Kesehatan RI. 2005.
Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005- 2009
5. Departemen Kesehatan RI. 2004.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.81/ Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman
Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan Di Tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota Serta Rumah Sakit
6. Departemen Kesehatan RI. 2005.
Profil Kesehatan Indonesia 2003.
7. Departemen Kesehatan RI. 2005.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004- Subtansi Kesehatan. Jakarta:
Badan Litbangkes, 2005